Menebar virus literasi
Oleh: Muhammad Iqbal
Pada suatu kali seorang dosen pernah berujar, “Kalian tidak perlu mengikuti UAS dan tetap mendapatkan nilai A, jika kalian bisa menyerahkan satu tulisan kalian yang berhasil dimuat di media massa..” Lalu dosen lain pernah memberikan instruksi yang berbeda, “Siapa yang membaca, dia yang berhasil dalam ujian.” Kemudian hal serupa diserukan oleh hampir seluruh dosen kepada mahasiswanya.
Apa yang bisa kita tangkap dari fenomena di atas??
Fenomena ini memberikan kita suatu gambaran bahwa keberhasilan dalam studi faktor terpentingnya adalah ditentukan oleh keterampilan membaca dan menulis. Ya, keterampilan baca-tulis adalah keterampilan yang setiap dari kita dapat melakukannya, keterampilan yang kemudian membangun citra mahasiswa sebagai bagian dari manusia-manusia yang banyak bergumul dengan budaya baca-tulis, menjadi budaya yang kemudian disebut sebagai budaya literasi.
Literasi secara sederhana diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Namun dalam konteks sekarang literasi memiliki arti yang sangat luas, yaitu melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan.
Dalam buku “Literacy: Profile of America’s Young Adult”, Kirsch dan Jungeblut mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh lagi, seseorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaanya.
Maka atas pemahaman tersebut, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa mahasiswa adalah representasi dari generasi literat bangsa ini. Ya, kita adalah bagian dari manusia-manusia yang banyak bergumul dengan dunia literasi. Intelektualitas kita berkembang karena kita membaca, menulis dan bersikap berdasarkan pemahaman bacaan kita.
Sekarang ini generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa ini bangkit dari keterpurukan dan dapat bersaing serta hidup sejajar dengan bangsa lain. Wagner (2000), menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya indeks pembangunan manusia. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Gerakan literasi di Indonesia sebagai bangsa timur yang dikenal sopan dan beradab ini kita akui masih lebih rendah dari bangsa barat yang kapitalis. International Achievement Education Association (IAEA) salah satu badan UNIESCO, pernah membuat laporan penelitian di negara-negara yang anak-anaknya memiliki keterampilan baca yang baik misal, Amerika, Finlandia, dan negara-negara Eropa. Pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai akses yang mudah dalam mendapatkan bemacam bacaan berkualitas, baik di perpustakaan sekolah maupun rumah.
Dari penelitian tersebut betapa membuat miris, bahwa anak-anak Indonesia menduduki peringkat ke-29 dari 30 negara yang menjadi sampel. Bahkan sejak 1973, yaitu laporan UNESCO bahwa negara Indonesia tergolong sebagai bangsa yang kelaparan, “kelaparan buku”. Yang kemudian sinyalemen tersebut berbunyi, “Indonesia belum menerbitkan satu buku pun!”. Dan banyak lagi yang cukup membuat kita geram tentang budaya literasi di negeri ini. Yang kesemuanya menunjukkan betapa negara ini masih membutuhkan banyak belajar proses untuk membangun sebuah negara yang berkebudayaan literat.
Di saat Malaysia menjadikan literasi sebagai fondasi dasar dalam membangun peradaban, kita justru masih berkutat pada dunia hukum karena masalah pemberantasan korupsi masih jauh lebih penting ketimbang pemberdayaan budaya baca-tulis.
Lalu sejauh mana gerakan literasi berkembang di kampus??
Berbicara tentang kampus, maka literasi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia kampus. Ada perpustakaan sebagai sumber bacaan, madding, bulletin, buku, dan jurnal sebagai media tulis dan sebagainya. Namun itu belum menjawab pertanyaan sesungguhnya, karena permasalahan selanjutnya adalah sejauh mana kita memanfaatkan berbagai sarana literasi yang sudah ada tersebut??
Andre Morois, sastrawan Perancis pernah mengungkapkan bahwa misi terpenting kehadiran dunia pendidikan adalah untuk mengantarkan para peserta didiknya agar mampu “membuka gerbang perpustakaan sendiri.”
Hal ini yang sebenarnya kita interpretasikan bahwa keberhasilan setiap individu, dalam pendidikan khususnya, akan kembali lagi pada sejauh mana ia memanfaatkan sumber bacaan, lalu menuliskannya dan memiliki pandangan berdasarkan pemahaman bacaannya.
Selain perpustakaan tentu masih banyak lagi yang bisa dimanfaatkan sebagai media mengembangkan budaya literasi di kampus. Yang pada akhirnya, jika setiap individu bersama-sama mengerakkan pentingnya budaya literasi sebagai akar rumput peradaban, lalu ketika itu berkembang dan menjadi virus, kita sebarkan virus literasi kepada lingkungan sekitar yang memiliki konteks yang lebih luas. Maka tentu akan jauh lebih mudah untuk membentuk generasi literat bangsa ini. Hal inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika beliau diproklamirkan sebagai Rasul, yaitu menjadikan tradisi iqra dan qalam sebagai landasan utama dalam mendesain kebangkitan Islam.
Maka pada akhirnya tidak bisa dipungkiri bahwa kebangkitan literasi menjadi sangat penting sebagai titik pergerakan menuju Indonesia yang lebih baik.
-November 2008
Salam Literasi,
Mari kita luangkan lebih banyak waktu untuk berliterasi.. Hidup Literasi!