Puisi

Posted on 11.38 | By Campus Literacy Movement | In

Hitam dan putih-putih dan hitam
Oleh: Mega Ozora*

Jika putih adalah tabu
Putih adalah semu
Maka suci adalah rancu

Dan apabila hitam adalah abadi
Hitam adalah hakiki
Dan hanya akan membuat gelap tersimpul mati
Bumi gulita, hati mati, buta, bisu dan tuli

Putih putih
Hitam-hitam
Putih hitam
Hitam putih

Hitam dan putih
Bukanlah dua dari jutaan spekrum warna
Karena hitam, merahnya hati merona
karena hati merahnya hati memucat

Hanyalah aku yang ada
Tatkala hitam dan putih bersatu
Manusia tercipta dari persenggaman hitam dan putih
Terlahir dari sebuah kejemuan
Terlahir dari sebuah kesemuan dan kerancuan
Yang memungkin nya berbuat bajik dan hina
Hina dan bajik



----------
*Mega Ozora adalah mahasiswa semester 1C Fak. Psikologi UIN Jakarta

Puisi

Posted on 11.26 | By Campus Literacy Movement | In

DALAM BIRU
Oleh: Mutiawa Pertiwi*

Ku buka pintu cahaya pagi
Ku ayunkan satu persatu langkah kaki
Menari di atas jemari air
Gemericiknya membuka nuansa

Alunan semilir angina menyusup perlahan tapi pasti
Menguatkan aku untuk tetap berdiri
Guguran bunga keabadian mengaromakan kebahagiaan itu akan datang
Aku terus menari, menari, dan menari...

Lalu kau datang sang pujangga kegelapan!
Menghentikan tarian haruku
Memaksaku untuk berlari ke arahmu
Mengejarmu dengan langkah tertatih-tatih

Namun, kau tidak menerangiku dalam gelap itu
Tersesatku dalam rimba pesona auramu
Menghapus lukisan panorama jiwaku
Hingga terkoyak diri dalam biru


------------
*Mutiara Pertiwi adalah mahasiswa semester 7A Fak. Psikologi UIN Jakarta

Resensi Buku

Posted on 11.12 | By Campus Literacy Movement | In

Judul : STIFF; Kehidupan Ganjil Mayat Manusia
Penulis :Mary Roach
Penerbit :Serambi
Tahun :I, Agustus 2007
Tebal : 304 halaman



*Oleh: Muhammad Iqbal

Di belakang Rumah Sakit Universitas Tennessee terdapat belukar menghutan yang cantik, tupai-tupai berlompatan dan burung-burung bersahutan. Terdapat hamparan rumput luas tempat orang-orang berbaring berjemur atau berteduh, tergantung di mana para peneliti menaruhnya. Lereng bukit Knoxville ini adalah fasilitas riset lapangan satu-satunya di dunia yang dikhususkan bagi penelitian tentang pembusukan mayat manusia.

Orang-orang yang berbaring di rumput tersebut telah mati. Mereka adalah mayat donasi, yang dengan cara mereka yang sunyi membantu memajukan ilmu forensik kejahatan. Karena semakin banyak yang Anda ketahui tentang pembusukan tubuh manusia—fase biologis dan kimiawi yang mereka lalui, berapa lama tiap fase terjadi, bagaimana lingkungan mempengaruhi fase-fase tersebut—semakin baik Anda memperkirakan berapa lama mayat telah mati: hari dan bahkan waktu tepatnya ia dibunuh!

Fenomena tersebut adalah satu dari beberapa bagian yang dipaparkan buku ini tentang penelitian-penelitian yang menggunakan mayat manusia. “STIFF: Kehidupan ganjil mayat manusia“, adalah buku yang mendeskripsikan secara jelas dan detail tentang bagaimana kehidupan manusia setelah mati di tangan para ilmuwan.

Pada bagian awal buku ini, Mary Roarch—sang penulis—menjelaskan tentang betapa sia-sianya manusia yang ketika dinyatakan telah mati, ia dikubur lalu tidak pernah berarti lagi. Menurutnya, bahkan ketika kita telah mati, kita dapat memberikan manfaat bagi orang lain yang masih hidup yaitu dengan mendonasikan tubuh kita pada suatu lembaga penelitian tertentu dalam rangka mengembangkan ilmu kedokteran yang berkaitan dengan mayat manusia.

Argumentasi Mary Roarch tentang mayat manusia tersebut tampak provokatif dan miris, kita mungkin berfikir memang ada baiknya jika tubuh kita yang akan mati ini –jika saatnya dinyatakan mati nanti—didonasikan saja kepada lembaga penelitian tertentu. Karena kita ingin memberikan lebih banyak manfaat kepada manusia bahkan pada saat kita telah mati. Tetapi tetu kita tidak bisa membayangkan apa yang selanjutnya akan terjadi pada tubuh kita di tangan para peneliti mayat.

Maka pada buku inilah Mary Roarch memberikan beberapa kemungkinannya, selain mungkin digunakan dalam pembusukan mayat, hal lain yang mungkin terjadi adalah seperti yang terjadi di Universitas Wayne State. Sebuah—karena berfungsi sebagai objek dan tak bernyawa—mayat yang kemudian disebut UM 006, didudukkan di sebuah mobil, lalu secara tiba-tiba ditabrak di bagian bahu oleh penabrak lurus. Menabrakkan UM 006 dilakukan untuk membantu peneliti mengetahui seberapa besar tekanan yang dapat ditahan bahu manusia dalam tabrakan mobil dari samping sebelum dinyatakan luka berat. Dan akibat yang dimunculkan pada mayat berguna bagi industri otomotif untuk menciptakan mobil yang jika terjadi tabrakan dapat mengurangi efek cedera bagi pengemudi atau penumpangnya.

Beda lagi dengan yang terjadi di Departemen Ordonansi Tentara AS, mayat-mayat donasi digantung di sebuah katrol di langit-langit tempat latihan menembak. Lalu mayat-mayat tersebut ditembak oleh para tentara AS di duabelas tempat dan di duabelas perintah berbeda (untuk meyimulasikan jarak yang berbeda), kemudian mayat-mayat tersebut diotopsi. Misi ini untuk membandingkan efek fisiologis dari dua senjata berbeda terhadap tulang dan isi perut tubuh manusia. Dan untuk mendapatkan penjelasan bagaimana senjata tertentu mengakibatkan efek fisik tertentu.

Selain penjelasan tentang bagaimana ‘kehidupan ganjil mayat manusia’, Mary Roarch juga menjelaskan secara detail tentang bagaimana cara terbaik dalam memperlakukan mayat, bagaimana menghilangkan emosi saat bereksperimen dengan mayat, bagaimana cara terbaik memisahkan kepala dari tubuh, membuat sayatan halus pada bagian tubuh dan sebagainya. Menyenangkan!

Ini adalah buku wajib bagi penggila ilmu pengetahuan...!!


------
*Muhammad Iqbal adalah mahasiswa semester 7A Fak. Psikologi UIN Jakarta

Resensi Buku

Posted on 11.00 | By Campus Literacy Movement | In

Judul buku : Teenlit Islami “Bukan Jilbab Semusim”
Pengarang : Teera (Triani Retno Adiastuti)
Penerbit : Tiga Serangkai
Tahun : 2006
Tebal : 174 hlm; 18 cm




Oleh: Nurul Amalia*


Berita kelulusan SPMB PTN yang disambut bingkai kebahagiaan oleh Lena, menjadi kunci awal bagi orang tuanya untuk menekankan syarat terhadapnya. Dan walaupun dengan penuh keterpaksaan, segala syarat pun ia sanggupi. Semua berawal pada pertemuan yang membawa kedekatannya pada Wisnu, yang membuatnya tak lagi peduli suara-suara bijak disekitarnya, dan sekejap menjelma menjadi malapetaka. Dunia mendadak pekat dan tak lagi bersahabat. Dunia seakan sunyi baginya terlebih di saat terlintas lagi “Mendingan kamu lepas saja jilbab itu daripada terus menerus munafik!” Wajah Lena memerah dan pucat berganti-ganti mendengar Wisnu melempar kalimat itu di depannya. Tak seorang pun sudi dibilang munafik. Di ujung sesalnya Lena hanya menyanggupi keputusan yang menjadi pilihan Wisnu. Keputusan yang akhirnya menjadi pilihan mutlak baginya. Akankah Lena mampu menjalani pilihan itu dan mendapatkan dunia yang benar-benar ia cari?

Sesungguhnya, tak perlu ada alasan untuk berkata TIDAK terhadap sesuatu yang sia-sia, yang tidak menuai guna, dan hanya melahirkan penyesalan yang dalam.

Segala perbuatan yang kita sadari ataupun tidak, pasti ada konsekuensinya yang menjadi tanggung jawab dalam menjalani segala proses kehidupan. Teenlit Islami ini cenderung mengacu terhadap pencarian makna kedamaiaan dan keikhlasan atas niat tulus dari hati. Keberhasilan yang di capai janganlah sampai membutakan mata hati kita terhadap cahaya kebajikan disekitar. Hidayah tidak akan datang dengan sendirinya, jika tidak ada sedikitpun usaha untuk menjemputnya.


---------
*Nurul Amalia adalah mahasiswa semester 3A Fak. Psikologi UIN Jakarta

Resensi Buku

Posted on 10.21 | By Campus Literacy Movement | In

Judul : Authentic Happiness; Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif
Penulis : Martin E.P. Seligman

Penerbit : Mizan Pustaka
Tahun : I, November 2005
Tebal : 407 halaman



*oleh: Wenny Hikmah Syahputri

Dilihat dari cover bukunya buku ini memang menggambarkan kesan Happiness dan ceria. Meskipun buku ini termasuk buku ilmiah, dikarenakan mengungkapkan beberapa hasil kajian dan penelitian serta teori-teori, namun penulis mengemasnya dengan bahasa yang mudah dicerna. Bahasa yang digunakan tidak hanya membuat pembaca memahami sebuah teori ilmiah, tetapi juga dapat merefleksikan secara langsung teori yang diungkapkan pada realitas kehidupan. Selain itu bahasa terjemahan yang dipilih juga mudah dipahami. Sehingga buku ini dapat dibaca oleh siapapun, tidak hanya mereka yang mengerti istilah-istilah psikologi saja.

Penulisnya sendiri yakni Martin E.P. Seligman adalah seorang Profesor psikologi yang merupakan pelopor psikologi positif. Penulis juga pernah menjadi Presiden America Psychological Association (APA). Ketika menjabat sebagai Presiden APA inilah Seligman banyak melakukan penelitian dan kajian terhadap psikologi positif. Sebagian isi dari buku ini adalah mengungkapkan hasil kajian Seligman pada psikologi positif khususnya Authentic Happiness. Dan pengalaman hidupnya dalam menemukan aspek-aspek Authentic Happiness tersebut.

Buku terjemahan Eva Yulia Nukman ini memberikan sudut pandang yang positif terhadap perilaku manusia. Hal ini merupakan suatu terobosan berbeda dari kajian-kajian psikologi sebelumnya yang lebih sering membahas gangguan psikis pada manusia dan bagaimana cara mengatasinya. Psikologi positif ini memberikan pandangan bahwa perilaku manusia tidak selalu dinilai dari seberapa banyak gangguan psikis yang ada padanya. Tapi bagaimana manusia tersebut dapat mengembangkan aspek-aspek positif dari dirinya sehingga tidak memunculkan berbagai gangguan itu.

Dibagian awal buku, penulis banyak mengangkat fenomena-fenomena dari hasil penelitiannya terhadap Happiness. Yang akhirnya mengantarkan pembaca pada sebuah kesimpulan bagaimana seseorang dapat menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Seligman juga bertutur mengapa pada suatu peristiwa yang dialami bersama, seseorang dapat merasakan perasaan atau kesan yang berbeda.

Buku ini juga menyajikan beberapa alat ukur pada aspek authentic happiness yang mana pembaca bisa langusung mengukur sendiri sejauh mana ia mencapai aspek tersebut. Lebih jauh lagi usai membaca keseluruhan isi buku ini, pembaca dapat menilai sendiri sejauh mana dirinya sudah mencapai authentic happiness tersebut.

Penulis menggunakan bentuk penjabaran induktif dalam buku ini. Yang mana menjelaskan secara detail diawal lalu, inti dari penjelasan terletak diakhir bab. Bagian akhir buku ini pada bab yang berjudul “Terminologi dan Teori”, penulis merangkum sebuah teori utuh dari authentic happiness. Yang mana sebelumnya penulis mencoba menjabarkan dengan melalui berbagai contoh-contoh nyata pada kehidupan.

Penulis berpendapat bahwa kebahagiaan adalah hasil yang ingin dicapai oleh psikologi positif. Seligman membagi aspek kebahagiaan menjadi tiga bentuk emosi positif yakni: emosi positif masa lalu (berupa perasaan puas, bangga, dan tenang), emosi positif masa mendatang (berupa optimisme, percaya diri, kepercayaan, harapan, dan keyakininan. Lalu emosi positif pada masa kini yang idbagi menjadi dua kelompok utama yaitu kenikmatan (kenikmatan lahiriah dan batiniah) dan gratifikasi (bentuk kegiatan yang senang dilakukan, menghalangi munuclnya kesadaran atau emosi kecuali setelah melakukan aktivitas tersebut. Contohnya mereka yang menjalankan hobi membaca, memanjat tebing, dll yang terkadang sangat focus pada aktivitas hobinya itu hingga tidak fokus pada yang lain kecuali hobinya itu.

Kelebihan lain dari buku ini adalah indeks dan catatan-catatan yang lengkap dari sumber bacaan yang dikutip penulis. Buku ini wajib dibaca bagi anda yang tertarik pada psikologi positif, dan ingin menemukan sendiri kebahagiaan dalam hidup. Namun saat ini penerbit sudah tidak memproduksi buku ini lagi. Padahal buku ini juga sering dijadikan referensi pada penelitian skripsi mahasiswa fakultas psikologi. Sementara buku ini juga jarang ditemukan di perpustakaan fakultas psikologi. Kebanyakan referensi buku psikologi positif yang ada masih berbahasa inggris dan jarang sekali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi mahasiswa fakultas psikologi yang berminat untuk melakukan kajian dan penelitian pada psikologi positif. Tapi bagi yang berminat unutk memiliki buku ini dapat memesan secara online pada penerbit Mizan.


----
*Wenny Hikmah Syahputri adalah mahasiswa semester 7A Fak. Psikologi UIN Jakarta

Halusinasi Hipnogogis

Posted on 07.58 | By Campus Literacy Movement | In

Oleh: Muhammad Iqbal

Adakah aku hanya mengalami semacam derealisasi ketika ku persepsikan kacamata dan ke-lugu-anmu adalah totalitas eros dan tanathosku?? Atau agnosia yang menyebabkan atribusi internal dan aku mengalami semacam skizofrenia simplek ketika justru ku yakini ada semacam gelombang ketidaksadaran tentangmu!?? Atau kau anggap ini hanya sublimasi dan proyeksi atas ketidakmampuanku mengorganisasi setiap ego yang terbentur oleh inferioritas???? O, sebegini sadiskah saat aku mulai mencoba menerjemahkan logika Fromm tentang Cinta?? Tak banyak yang aku inginkan darimu, aku hanya butuh sedikit perasaan dan atensi! Tak apalah jika kau tak mau tau tentang hipokampus-ku yang terus mengecil dan ventrikel otakku yang terus membesar hanya karena ada sebentuk memori kecil menyebut namamu?! Karena aku yakin sedikit perasaanmu adalah terapi yang dapat mengembalikan kepribadian dan substansi kehidupanku kembali nyata.Jujur, perasaan ini telah mengalami depersonalisasi yang menjadikan malam-malamku tergerus insomnia primer dan saat- saat siangku adalah saat depresi mayorku!Percayalah bahwa aktualisasi diriku adalah kebutuhan akan cinta dan memiliki, dan superioritasku adalah keseluruhan id yang hanya memiliki satu kata: Kamu yang lugu dan berkacamata...

-Desember 2009-

Menjadi Mahasiswa Psikologi

Posted on 07.33 | By Campus Literacy Movement | In


Menjadi Mahasiswa Psikologi

Oleh: Muhammad Iqbal

Izinkan saya merangkum pengalaman 3 tahun berkuliah dalam satu tulisan ini, tentang menjadi mahasiswa Psikologi. Karena melalui sharing kita akan sama-sama lebih mengerti..

Maha-siswa... Dulu aku tidak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya memiliki title baru sebagai maha-siswa. Uh! Ini membuatku bingung tentang bagaimana jadinya jika saya berhasil menjadi mahasiswa. Karena yang ada saat akan masuk kampus hanyalah petuah orang tua yang berbunyi, “Sst!! Jangan ikut2an demo!!“, “Hati-hati Jaringan Liberal!!“ dll. Tapi, pada saatnya tiba aku menjadi mahasiswa, “Oh.. gini tho yang namanya kuliah?!!” Hah!! Bergelut dengan Psikologi: Kuliah-kosan, kuliah-organisasi, kuliah-maen, demo, liburan, kerja, pacaran.. dll. Lalu setelah 3 tahun ‘duduk‘ di kampus, kau jadi bertanya, “Apa ya yang dah didapat setelah 3 tahun berkuliah??“ ....

Hm.. Bingunglah saya menjawab ini..!! Karena rasanya ini hanya tentang menjalani hidup, hampa euy! Jika kalian bertanya pada saya tentang PSIKOLOGI, ya mungkin saya bisa menjelaskannya, dari mulai sejarah, teori, metodologi, sampai aplikasi... Tapi rasanya bukan penjelasan psikologi yang saya inginkan! Lalu jika kalian bertanya pada saya tentang organisasi, ya mungkin juga saya dapat menjawabnya, dari hal membuat porgram, pembentukan struktur sampai membuat event besar. Tapi sepertinya bukan hal ini pula yang saya inginkan..

Ada cita-cita, harapan, idealisme dan apalah itu namanya yang jauh lebih besar yang harus didapat jika seandainya saya menghabiskan beberapa waktu untuk berkuliah... (Kita tidak pernah tahu betapa berharganya kuliah karena kita tidak mau tahu betapa sulitnya orang lain yang ingin berkuliah). Tentu kita sama-sama tahu tentang orang tua yang mempekerjakan anaknya setelah tamat dari SMA karena tidak ada biaya untuk anaknya berkuliah? Dan tentang pengangguran yang melintas melewati gedung kampus tanpa pernah bisa merasakan ‘nikmatnya‘ berkuliah‘?? Ya maka beruntunglah kita dapat menikmati ‘indahnya‘ kuliah.. Tapi sepertinya kita menjadi manusia paling rugi jika kita berkuliah tanpa pernah memiliki harapan atau pencapaian!?

Kita tidak sedang membahas bahwa ada di antara kita yang terjebak, terdampar, terpaksa atau coba-coba berkuliah di Psikologi, karena apapun itu, yang pasti adalah saya, kamu dan yang lainnya adalah orang-orang yang sudah terkotak dalam ruang bernama Psikologi, jadi mau tidak mau berada di kampus ini harus memiliki harapan!

Saya akan jujur tentang harapan saya untuk alasan mengapa saya membuang waktu selama 4 tahun di kampus ini. Saya ingin menjadi ilmuwan psikologi (usai S1&S2), saya ingin skripsi saya menjadi buku, saya harus memiliki keterampilan khusus dalam psikologi (Ex; Hipnosis/grafologis/menafsirkan mimpi, etc), saya harus mengajak kawan2 saya untuk lebih banyak berdiskusi dan berliterasi, dan saya perlu pengalaman luar biasa sebagai mahasiswa (mendaki gunung/menjadi demonstran/ menginjak tanah terjauh di Indonesia) dll.

Sebagian harapan itu telah saya capai, dan saya perlu mencapai yang lain.. Jikalah tidak tercapai, saya tetap bangga karena saya pernah memiliki harapan. Lalu, bolehkah saya tahu apa HARAPAN kawan2??

Pada akhirnya, kita perlu menemukan lebih dalam apa sesungguhnya yang ingin kita harapkan ketika kita menentukan pilihan untuk membuang waktu cukup lama di kampus ini. Jika hanya berkuliah lalu menggeluti absen & tugas di kelas selama 4 tahun, dan akhirnya bisa kerja karena S1, rasanya semua orang bisa melakukan ini..

Ini tentang memberi manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang lain, dan tentang menemukan makna.. Saya hanya khawatir dengan apa yang disebut oleh Victor Frankl sebagai ‘kehampaan eksistensial’. Hampa, hampa, hampa........


-03 Desember 2009-

Literasi?

Posted on 17.00 | By Campus Literacy Movement | In

Menebar virus literasi

Oleh: Muhammad Iqbal

Pada suatu kali seorang dosen pernah berujar, “Kalian tidak perlu mengikuti UAS dan tetap mendapatkan nilai A, jika kalian bisa menyerahkan satu tulisan kalian yang berhasil dimuat di media massa..” Lalu dosen lain pernah memberikan instruksi yang berbeda, “Siapa yang membaca, dia yang berhasil dalam ujian.” Kemudian hal serupa diserukan oleh hampir seluruh dosen kepada mahasiswanya.

Apa yang bisa kita tangkap dari fenomena di atas??

Fenomena ini memberikan kita suatu gambaran bahwa keberhasilan dalam studi faktor terpentingnya adalah ditentukan oleh keterampilan membaca dan menulis. Ya, keterampilan baca-tulis adalah keterampilan yang setiap dari kita dapat melakukannya, keterampilan yang kemudian membangun citra mahasiswa sebagai bagian dari manusia-manusia yang banyak bergumul dengan budaya baca-tulis, menjadi budaya yang kemudian disebut sebagai budaya literasi.

Literasi secara sederhana diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Namun dalam konteks sekarang literasi memiliki arti yang sangat luas, yaitu melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan.

Dalam buku “Literacy: Profile of America’s Young Adult”, Kirsch dan Jungeblut mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh lagi, seseorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaanya.

Maka atas pemahaman tersebut, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa mahasiswa adalah representasi dari generasi literat bangsa ini. Ya, kita adalah bagian dari manusia-manusia yang banyak bergumul dengan dunia literasi. Intelektualitas kita berkembang karena kita membaca, menulis dan bersikap berdasarkan pemahaman bacaan kita.

Sekarang ini generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa ini bangkit dari keterpurukan dan dapat bersaing serta hidup sejajar dengan bangsa lain. Wagner (2000), menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya indeks pembangunan manusia. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.

Gerakan literasi di Indonesia sebagai bangsa timur yang dikenal sopan dan beradab ini kita akui masih lebih rendah dari bangsa barat yang kapitalis. International Achievement Education Association (IAEA) salah satu badan UNIESCO, pernah membuat laporan penelitian di negara-negara yang anak-anaknya memiliki keterampilan baca yang baik misal, Amerika, Finlandia, dan negara-negara Eropa. Pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai akses yang mudah dalam mendapatkan bemacam bacaan berkualitas, baik di perpustakaan sekolah maupun rumah.

Dari penelitian tersebut betapa membuat miris, bahwa anak-anak Indonesia menduduki peringkat ke-29 dari 30 negara yang menjadi sampel. Bahkan sejak 1973, yaitu laporan UNESCO bahwa negara Indonesia tergolong sebagai bangsa yang kelaparan, “kelaparan buku”. Yang kemudian sinyalemen tersebut berbunyi, “Indonesia belum menerbitkan satu buku pun!”. Dan banyak lagi yang cukup membuat kita geram tentang budaya literasi di negeri ini. Yang kesemuanya menunjukkan betapa negara ini masih membutuhkan banyak belajar proses untuk membangun sebuah negara yang berkebudayaan literat.

Di saat Malaysia menjadikan literasi sebagai fondasi dasar dalam membangun peradaban, kita justru masih berkutat pada dunia hukum karena masalah pemberantasan korupsi masih jauh lebih penting ketimbang pemberdayaan budaya baca-tulis.

Lalu sejauh mana gerakan literasi berkembang di kampus??

Berbicara tentang kampus, maka literasi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia kampus. Ada perpustakaan sebagai sumber bacaan, madding, bulletin, buku, dan jurnal sebagai media tulis dan sebagainya. Namun itu belum menjawab pertanyaan sesungguhnya, karena permasalahan selanjutnya adalah sejauh mana kita memanfaatkan berbagai sarana literasi yang sudah ada tersebut??

Andre Morois, sastrawan Perancis pernah mengungkapkan bahwa misi terpenting kehadiran dunia pendidikan adalah untuk mengantarkan para peserta didiknya agar mampu “membuka gerbang perpustakaan sendiri.”

Hal ini yang sebenarnya kita interpretasikan bahwa keberhasilan setiap individu, dalam pendidikan khususnya, akan kembali lagi pada sejauh mana ia memanfaatkan sumber bacaan, lalu menuliskannya dan memiliki pandangan berdasarkan pemahaman bacaannya.

Selain perpustakaan tentu masih banyak lagi yang bisa dimanfaatkan sebagai media mengembangkan budaya literasi di kampus. Yang pada akhirnya, jika setiap individu bersama-sama mengerakkan pentingnya budaya literasi sebagai akar rumput peradaban, lalu ketika itu berkembang dan menjadi virus, kita sebarkan virus literasi kepada lingkungan sekitar yang memiliki konteks yang lebih luas. Maka tentu akan jauh lebih mudah untuk membentuk generasi literat bangsa ini. Hal inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika beliau diproklamirkan sebagai Rasul, yaitu menjadikan tradisi iqra dan qalam sebagai landasan utama dalam mendesain kebangkitan Islam.

Maka pada akhirnya tidak bisa dipungkiri bahwa kebangkitan literasi menjadi sangat penting sebagai titik pergerakan menuju Indonesia yang lebih baik.


-November 2008